1.09.2008

Chatt in your Blog




Buat teman-teman yang pengen nambahin fitur chatt di Blog
seperti gambar disamping bisa ke http://www.cbox.ws/
tapi harus registrasi dulu, gratis koq









Klik Disini

1.08.2008

*Arung, To-panrita dan Transformasi Otoritas Keagamaan dan Kecendekiawanan di Sulsel*

Oleh: Wahyuddin Halim**

I

Bagaimana idealnya seorang cendekiawan bersikap vis a vis kekuasaan? Ada yang berpendapat,
cendekiawan seharusnya tidak terlibat dalam kekuasaan. Yang lain melihat cendekiawan bisa
berperan ganda; sebagai birokrat yang baik sembari tetap berperan sebagai intelektual yang
tetap memelihara kejernihan idealisme dan kritis. Namun, karena cendekiawan (intellectual)
pada dasarnya lebih merupakan kapasitas dan kualitas ketimbang status dan posisi,
cendekiawan dan kekuasaan sesungguhnya tidak perlu diposisikan kelewat dikotomis.
Mengikuti Antony D. Smith (1981:109) yang melekatkan istilah intellectual untuk a type of
personality and mental attitude, dapat dikatakan, kecendekiaan adalah kapasitas pribadi yang
bisa dimiliki siapa pun sekaligus akumulasi peran seseorang di bidang-bidang non-intelektual,
termasuk birokrasi.

Dengan alur argumen demikian, seorang cendekiawan takperlu serta-merta dianggap
kehilangan kecendekiaan hanya karena dia memegang kekuasaan formal dalam masyarakat.
Banyak tokoh dalam pentas politik nasional yang bisa dijadikan contoh di mana peran sebagai
cendekiawan dan negarawan terpadu secara harmonis dan sinergis. Sebutlah misalnya
Mohammad Hatta, Haji Agus Salim, Muhammad Natsir, Soejatmoko, A. Mukti Ali, Emil
Salim, B.J. Habibie, Munawir Sjadzali, M. Quraish Shihab, M. Amin Rais, M. Ryas Rasyid, dll.
Tulisan ini berupaya menunjukkan beberapa contoh peran cendekiawan dalam kekuasaan
politik di Sulawesi Selatan di masa lampau sebagaimana terlihat dalam konsep “to-panrita”
dan bagaimana konsep kecendekiaan itu mengalami transformasi seiring dengan penetrasi
Islam di kawasan ini.

II

Secara etimologis, to-panrita berarti orang yang menyaksikan. Kata panrita bisa berarti

keahlian teknis, seperti tercermin dari ungkapan panrita lopi (ahli pembuat perahu), tapi dalam
pengertian lain, panrita berarti ulama (sehingga dalam masyarakat seorang panrita loppo

berarti ulama besar) atau pendeta. 1 C. Pelras yakin bahwa kata to-panrita diambil dari bahasa
Sanskerta ‘pandita’ yang berarti ‘pendeta atau pertapa.’ 2 Dalam pengertian Pelras, to-panrita
adalah ‘orang yang menguasai seluk beluk agama, bijaksana, saleh dan jujur.’ Makna to-panrita
yang lebih luas diberikan oleh Mochtar Pabottingi, seorang cendekiawan asal Sulsel.
Menurutnya, to-panrita adalah orang yang bersaksi, melihat dan menyimak atas suatu
keadaan dan menyatakan keadaan sebenarnya. Di sini, to-panrita bukan saja berperan sebagai
pengamat yang objektif atas keadaan di sekitarnya, tapi juga memberi penilaian, kritik dan
pertimbangan atas suatu keadaan. Dengan makna ini, tidak berlebihan jika to-panrita
diidentikkan dengan konsep cendekiawan (intellectual) dalam terminologi modern.

Lepas dari beragam pengertian di atas, to-panrita juga merupakan salah satu dari empat
kualitas utama manusia Bugis yang disebut dalam Lontara sebagai “sulapa’ eppa’” (segi
empat). Keempat kualitas atau sifat tersebut merupakan modalitas yang harus dimiliki setiap
pemimpin baik. Selain panrita (saleh), tiga sifat yang dimaksud adalah warani (berani), macca
(cerdas) dan sugi (kaya).3 Menurut Mattulada, keempat sosok ideal ini, yang dia sebut sebagai
‘golongan fungsional’ (kerajaan), termasuk lapisan elit kedua dalam pelapisan masyarakat
Bugis-Makassar periode Lontara. 4 Lapisan elit pertama adalah Arung dengan lingkup
anakarung, yaitu raja dengan lingkungan kerabat keluarga bangsawan, menduduki
jabatan-jabatan kepemimpinan politik pemerintah, baik di pusat kerajaan maupun di
daerah-daerah bawahannya. Menurut Lontara, golongan ini disetarakan dengan anakarung
(bangsawan), walaupun mereka tidak berasal dari keturunan tomanurung.5

Kualitas dan kapasitas utama to-panrita bisa disimpulkan dari paseng (petuah)

Ma'danrengngè ri Majauleng yang bernama La Tenritau: "Aja' nasalaiko acca sibawa lempu"
(Milikilah kecerdasan dan kejujuran kapan saja). Yang dimaksud La Tenritau dengan acca

adalah kemampuan mengerjakan semua pekerjaan dan menjawab semua pertanyaan serta kecakapan berkata-kata baik, logis dan lemah lembut sehingga menimbulkan kesan baik pada orang lain. Sementara lempu' adalah pola pikir dan prilaku yang selalu benar, tabiat baik dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Esa.

Dalam perspektif masyarakat Bugis-Makassar, integrasi kecerdasan dan kejujuran merupakan
kualifikasi penting setiap calon pemimpin. Ketika ditanya oleh Arumpone (Raja Bone) tentang
pangkal kecerdasan (appongenna accaè), Kajao Laliddong -seorang cendekiawan dan

mahapatih raja Bone-- menjawab: “lempuè’” (kejujuran). Kajao Laliddong juga menyebut kejujuran raja (komalempu’i Arung Mangkauè) sebagai salah satu di antara tellu tanranna nasawè asè (indikator keberhasilan panen). La Waniaga Arung Bila, cendekiawan Soppeng abad ke-16, berkata: “Temmatè lempu’è mawatang sapparenna atongengengngè’” (Kejujuran akan terus hidup, tapi kebenaran sulit dicari).

Di masa lalu masyarakat percaya, prilaku penguasa akan menentukan kondisi kehidupan
mereka. Hal ini turut berperan mengekang para penguasa agar tidak bertindak
sewenang-wenang terhadap rakyatnya demi terciptanya keadilan, keamanan dan kemakmuran
dalam wilayah kerajaan (akkarungeng). Menurut Andi Zainal Abidin, karena memiliki

wewenang memperingatkan raja dan para pembantunya, para negarawan dan ahli filsafat di
zaman kerajaan historis Sulsel adalah faktor penting yang turut membatasi kekuasaan raja.6
Sekalipun A. Z. Abidin tidak secara eksplisit menyebut mereka to-panrita, tapi peran mereka
sepenuhnya identik dengan konotasi to-panrita yang dikemukakan di atas. Begitu vitalnya
peran seorang yang berpengetahuan dalam sebuah wanua, Karaèng Pattingaloang, salah
seorang ilmuan dan cendekiawan ulung kerajaan Gowa Tallo abad ke-17, memperingatkan
bahwa salah satu di antara lima faktor keruntuhan suatu negeri (lima pammanjènganna matèna
butta lompowa) adalah jika tiada lagi cendekiawan di dalam negeri (punna tèenamo

tomangissèngan ri lalang pa’rasanganga).7

Peran penting seorang cendekiawan atau to-panrita dalam dinamika sosial-politik di Sulsel era
kerajaan historis dapat dilihat, misalnya, dalam rekaman Lontara berikut. Sebelum dilantik jadi
datu Soppeng ke-9 yang hidup di paruh kedua abad ke-15, Lamannussak To Akkarangeng
mendatangi sejumlah to-panrita di Sulsel, termasuk To Ciung Maccae (XV-XVI) di Luwu,
guna mempelajari ilmu kepemimpinan. Salah satu paseng To Ciung kepada Lamannussak:
“Jagaiwi balimmu wèkka siseng, mujagaiwi rangeng-rangengmu wèkka sisebbu, nasabak
rangeng-rangeng mutu matuk solangiko” 8 (Waspadailah lawan-lawanmu satu kali,

waspadailah kawan-kawanmu seribu kali. Sebab yang terakhir inilah yang bisa membuatmu
rusak). To Ciung juga menganjurkan Lammannussak sekali-sekali berkonsultasi dengan
cendekiawan --yang enggan berkunjung ke istana seperti halnya para oportunis—tentang

masalah-masalah yang perlu diselesaikan dengan matang karena mereka justru mengatakan
banyak kebenaran (Obbi’i to accaè tassisèng-sisèeng mutanaiwi, nasaba’ maègatu patuju
napau).

Petuah-petuah atau paseng dari sejumlah to-panrita yang kerap muncul dalam wacana orang
tua-tua Bugis-Makassar belakangan menjadi dasar bagi sebagian besar ajaran etika tradisional
karena kandungan mereka yang universal dan perenial --seperti terekam dalam berbagai
Lontara. Di antara to-panrita yang termaksud adalah: To Ciung Maccaè di Luwu (Abad XV),
Nènè Maggading di Suppa' (abad XV), La Tiringeng To Taba' dan La Tadampare Puang Ri
Maggalatung, keduanya dari Wajo (Abad XV), La Waniaga Arung Bila di Soppeng (Abad
XVI), Nene Pasiru' (Abad XV) dan La Pagala Nènè Mallomo (Abad XVI) di Sidenreng, La
Mèllong Kajao Laliddong di Bone (abad XVI), Karaeng Botolèmpangan di Gowa (abad XVII),
dan I Mangadacinna Daèng Sitaba Karaèng Pattingalloang di Gowa-Tallo (abad XVII). Sosok
La Tiringeng To Taba di Wajo mungkin bisa diulas lebih jauh di sini sekedar sebagai contoh.
Menurut Andi Pabarangi, peran La Tiringeng takdapat dipisahkan dari perjanjian awal antara
rakyat dan raja Wajo di La Paddeppa’ yang berhasil merumuskan prinsip-prinsip utama
ketatanegaraan (konstitusi) kerajaan Wajo di abad ke-15. Abdurrazak Daeng Patunru dalam
Sejarah Wajo (1964) menyatakan, lepas dari peran penting lima Arung Matowa Wajo
terkemuka (La Tadampare', La Mungkacè', La Tenrilai, La Salèwangeng dan La
Maddukelleng), La Tiringeng adalah tokoh besar Wajo.9 Arung Saotanrè yang bergelar Arung
Bèttèmpola ini hidup sezaman dengan empat Arung Matowa Wajo yang pertama. Bèttèmpola
adalah negeri bagian kerajaan Wajo selain Talotenreng dan Tua.

Selama hidupnya, La Tiringeng kerapkali mengambil alih peranan Arung Matowa merumuskan
berbagai undang-undang dan keputusan penting tentang berbagai masalah sosial-politik Wajo
di abad ke-15 dan 16, masa-masa ketika kerajaan ini dipandang mencapai puncak

kejayaannya. 10 Karena kecerdasan dan kebijaksanaannya juga, La Tiringeng menjadi

tempat orang-orang Wajo bertanya dan meminta nasehat atas beragam persoalan. Namun, lepas
dari peran penting dia dalam kerajaan Wajo, ada satu hal yang membuat orang-orang Wajo
memandangnya sebagai sosok pemimpin yang konsisten memegang janji dan tidak memiliki
ambisi pribadi kecuali kepentingan untuk memajukan rakyat dan kerajaan. Dia selalu menolak
permintaan (bahkan “tekanan”) rakyat Wajo agar dia menjadi Arung Matoa setiap kali terjadi
kekosongan pemerintahan karena meninggalnya Arung Matoa yang sedang memerintah (harap
dicatat, jabatan arung matoa Wajo bukan diwarisan secara turun-temurun tapi dipilih oleh
Arung Patappuloe [40 bangsawan utama], lembaga semacam DPR). Alasan dia, hal itu
bertentangan dengan perjanjian awalnya dengan rakyat Wajo. Menurut A. Z. Abidin, La
Tiringeng dipandang sebagai pemimpin rakyat bukan saja karena ascribed status dan
“kesakralannya,” tetapi juga terutama karena personal qualities serta jasanya dalam menyusun

dan melaksanakan sistem kekuasaan yang terbatas kepada raja dan para aparatnya.11 Oleh
karena itu, tidak berlebihan jika A.D. Patunru memandang La Tiringeng sebagai “ahli filsafat”
Wajo. 12

Sebagaimana To Ciung Maccaè, Nènè Mallomo, Arung Bila, Kajao Laliddong dan Karaèng
Pattingalloang, La Tiringeng mewujudkan diri sebagai sosok to-panrita Bugis par excellence;
seorang cendekiawan dan negarawan yang tidak saja bijaksana, cerdas dan mencintai
rakyatnya, tetapi juga ahli dan penegak hukum yang tegas, jujur dan tidak terbius kekuasaan
dan kekayaan. Tidaklah aneh jika petuah-petuahnya lebih dari enam abad silam tampak masih
relevan ditelaah sebagai sumber inspirasi, landasan etika dan pedoman dalam menata
kehidupan sosial, hukum, politik dan pemerintahan di masa kini, baik di tingkat lokal, regional
maupun nasional. Salah satu pesan La Tiringeng yang mungkin tetap kompatible digemakan di
masa kini adalah, “Napoallebirengngi to Wajoè, maradèkaè, na malempu, na mapaccing ri gau’
salaè, marèso mappalaong, na maparekki ri warang-paranna.13 (Orang Wajo mulia karena
mereka memiliki kebebasan, kejujuran, kesucian dari prilaku buruk, kerajinan bekerja, dan
memelihara harta benda).

La Tadampare Puang Ri Maggalatung, juga di Wajo dan masih sempat semasa dengan La
Tiringeng To Taba, mungkin merupakan sosok to-panrita yang lebih unik lagi. Sebagai Arung
Matoa Wajo ke-4, dia menampilkan diri sebagai pemimpin dan cendekiawan yang cerdas, adil,
tegas dan bijaksana sehingga di masa pemerintahannyalah, Kerajaan Wajo dipandang
mencapai puncak kegemilangannya.14 Tampaknya, salah satu faktor penting yang membawa
Wajo mencapai the golden age-nya tersebut adalah karena selama periode itu tercipta semacam
sinergi dan harmoni antara penguasa (Puang Ri Maggalatung) dan cendekiawan atau to-panrita.
Salah satu ungkapan Puang Ri Maggalatung yang terkenal dan belakangan bahkan juga
menjadi semboyang atau salah satu ade’ ammaradèkangenna to Wajo’è adalah: “Maradèka to
Wajo’è, najajiang alèna maradèka, tanaèmi ata, naia to makkètanaè maradèka maneng, ade’
assamaturusennami napopuang.” (Orang Wajo itu merdeka dan dilahirkan merdeka. Hanya
tanah yang menjadi budak sementara manusia yang hidup di atasnya adalah merdeka. Hanya
adat permufakatan [konsensus] mereka yang mereka patuhi). Ini artinya orang-orang Wajo itu
tidak terikat oleh perintah seorang raja (Arung Matoa) jika perintah itu bertentangan dengan
ade’ assamaturusenna to Wajo’è (konsensus orang-orang Wajo). “The man chosen as arung
matoa is,” tulis J. Noorduyn, “it is true, ‘the highest ruler’, but only on the grounds of what his
country, his people and their representatives signify. His fundamental dependence on those
who have chosen him is here laid down.” 15 Bahkan dalam ungkapan lain, yang juga

diasosiasikan dengan Puang Ri Maggalatung, disebutkan “Ri laleng tampu’ mupi namaradèka
to Wajo’è.” (Bahkan semenjak masih dalam kandungan, orang-orang Wajo sudah merdeka).
Karena itulah, sungguh menyedihkan jika dicermati bahwa dalam masyarakat Wajo masa kini,
juga di beberapa daerah lain di Sulsel, prinsip persamaan hak di depan hukum, keadilan dan
kemerdekaan berusaha dan berpendapat orang-orang yang tinggal di Wajo cenderung semakin
diabaikan. Padahal prinsip-prinsip itulah juga yang beberapa abad kemudian dirumuskan
sebagai konsep demokrasi di Barat. Gaya kepemimpinan feodalistik yang memperlakukan
bawahan sebagai ata atau budak yang harus selalu patuh kepada perintah atasan mereka
sekalipun perintah itu bertentangan dengan undang-undang dan konsensus, tampaknya mulai
ditampilkan lagi. Mereka lupa, bahwa Puang Ri Maggalatung, karena memandang semua
manusia pada hakikatnya dilahirkan bebas dan sama harkat dan martabatnya di mata Tuhan,
dia memilih menyeru atau menyapa rakyatnya dengan panggilan “ana’ eppoku” , yang berarti
anak-cucuku.

Setelah hampir seluruh kerajaan di Sulsel terislamisasi secara struktural pada dekade awal abad
ke-17, 16 konsep to-panrita tampaknya juga mengalami perluasan makna. Seperti ditulis
Pelras, 17 sekalipun istilah to-panrita berasal dari bahasa Sanskerta, setelah Islam diterima di
Sulsel ia disemaknakan dengan kata ‘Arab ‘alim (jamak: ‘ulama). Dalam konteks masyarakat
Sulsel kontemporer, to-panrita tidak saja bermakna tokoh yang saleh dan berilmu pengetahuan
keislaman yang luas, tapi juga menjadi semacam tokoh teladan (role model) dalam masyarakat
serta kualitas moral yang diidamkan orang-orang tua bisa dimiliki anak-anak mereka ketika
beranjak dewasa. Karena itulah, ungkapan “tau ‘lao sala mancaji to-panrita” (orang bajingan
berubah menjadi orang alim) merujuk kepada seseorang yang telah mengalami semacam
pertobatan diri atau transformasi karakter dari yang buruk menjadi baik. Biasanya, proses
peralihan ini terkulminasi pada keputusan untuk melaksanakan ibadah haji ke Mekah.18

Seiring dengan tumbuhnya di akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20 sejumlah lembaga
pendidikan Islam tradisional di Sulsel (pesantren) yang melahirkan sosok ‘ulama tradisional,
konsep to-panrita pun mengalami pergeseran makna lebih lanjut. Suatu hal yang tak
mengherankan mengingat, setelah kedatangan Islam, muncullah ‘ulama yang mengambil alih
peran to-panrita dalam makna tradisionalnya. Kenyataannya, ulama tradisional di masa lalu
tidak saja menguasai ilmu-ilmu keislaman tetapi juga kerapkali menampilkan diri sebagai
sosok yang memiliki kemampuan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan sosial, kesehatan,
hukum, ekonomi, budaya dan politik yang muncul dalam masyarakatnya. Wajarlah, mereka
tidak saja menjadi gurutta (guru kita) dalam arti mengajari orang-orang tentang berbagai
masalah agama dalam lembaga pendidikan tradisional, tetapi juga menjadi rujukan bagi

orang-orang yang membutuhkan nasehat dan doa-doa mustajab untuk urusan tertentu. Orang-orang ini mendatangi gurutta, misalnya, ketika mereka sangat berharap memperoleh kesuksesan dalam berbisnis, keberlimpahan hasil panen, kesembuhan dari penyakit jasmani dan rohani, penyelesaian masalah hukum atau keselamatan di medan pertempuran (ilmu kebal/kesaktian).

Lebih penting lagi, seperti peran to-panrita di masa lalu, para ulama juga berperan sebagai
penasehat atau konsultan para penguasa (sultan) dalam menyelesaikan berbagai masalah yang
sedang mengemuka dalam wilayah kekuasaan mereka. Dalam terminologi modern,
to-panrita/’ulama sesungguhnya merepresentasikan diri sebagai salah satu komponen penting
civil society di masa lalu. Sebab, dengan kapasitas, otoritas dan perngaruh keilmuan dan
keagamaan mereka, mereka bisa berperan penting dalam membatasi secara tidak langsung
wewenang dan kekuasaan penguasa. Jika menurut Pelras prototipe to-panrita pra-Islam adalah
We Tenriabeng, saudara kembar Sawerigading, maka mungkin cukup beralasan untuk
mengatakan bahwa sosok to-panrita par excellence Sulsel pasca-Islamisasi adalah Syekh Yusuf
Al-Makassari (1626-1699).19 Sementara AGH. Muhammad As’ad di Wajo (1907-1952)20 dan
AGH. Abdurrahman Ambo Dalle (1900-1996)21 di Barru, sekedar menyebut dua contoh yang
paling terkenal, adalah sosok to-panrita di masa kontemporer.

III

Jadi, seperti ditunjukkan di atas, dalam bidang sosial, hukum, budaya, agama dan kekuasaan
politik, peran to-panrita dalam masyarakat Sulsel terlihat sangat sentral. Hubungan harmonis
dan saling menghargai antara arung dan to-panrita, atau dalam terminologi keilmuan Islam,
antara ‘umara (Arab, tunggal: ‘amir, penguasa) dan ‘ulama’, adalah salah satu faktor penting
sehingga beberapa kerajaan tradisional Sulsel dapat mencapai puncak kegemilangan dalam
fase-fase tertentu sejarah mereka. Dengan kata lain, meminjam jargon Pemprov Sulsel periode
lalu, prinsip sipakalebbi (saling menghormati), sipakatau (saling menghargai), dan sipakainge’
(saling mengingatkan) antara arung dan to-panrita benar-benar terpelihara. Sementara itu,
penetrasi Islam di Sulsel, sebagaimana diakui oleh Pelras, ‘menyumbangkan warna baru

terhadap prototipe [manusia Bugis: WH] yang ada dengan memperkuat aspek-aspek etika.’ 22
Walhasil, dalam konteks sosial-politik Sulsel kontemporer, apakah hubungan seperti ini masih
dapat dijumpai di antara arung/’umara’ dan to-panrita/’ulama’? Dengan kata lain, masih
adakah pejabat tinggi atau calon pejabat yang mau mendatangi cendekiawan/ulama dan
meminta nasehat dan kritik dari mereka seperti yang dilakukan Lamannussak di atas? Atau,
masihkah adakah ulama dalam masyarakat kita saat ini dengan kualifikasi to-panrita --dalam

pengertian tradisional dan modernnya-- yang senantiasa concern dengan masalah-masalah
keumatan, jujur, tulus dan berani menasehati, mengkritik dan mengoreksi penguasa yang korup
dan mementingkan diri sendiri? Ataukah sebaliknya, yang lebih kerap dijumpai sekarang
adalah pentas persaingan dan perseteruan antara kedua sosok tersebut dalam mendapatkan atau
melanggengkan pengaruh sosial, kegamaan, kultural dan politik di tengah-tengah masyarakat
Sulsel demi mencapai tujuan-tujuan politik jangka pendek mereka. Jika demikian, saya
khawatir, alih-alih menampilkan prinsip sipakalebbi, sipakatau dan sipakainge’, mereka
justru sedang mempertontonkan budaya sipakasiri’-siri’ (saling mempermalukan),

sipakatau-tau (saling mengancam dan menakut-nakuti) dan sipakalinge’-linge’ (sama-sama gila) di hadapan masyarakat mereka? Semoga jawaban untuk ketiga pertanyaan di atas adalah afirmatif.

* Draft makalah yang disampaikan pada Diskusi Buku Christian Pelras, Manusia Bugis (Jakarta: Nalar, 2006) yang dilaksanakan oleh Yayasan Ininnawa: Pusat Kajian Budaya, Perpustakaan dan Penerbitan pada Selasa-Kamis/14-16 Maret 2006 di Gedung Pusat Kegiatan Penelitian (PKP) Universitas Hasanuddin, Makassar.

** Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar. Menyelesaikan S1
bidang Teologi dan Filsafat Islam di kampus yang sama pada 1993. Meraih S2 bidang International Development
Studies (IDS) dari Dalhousie University, Kanada (2001) dan S2 bidang Islamic Studies dari Temple University, AS
(2004).

1 M. Ide Said DM., Kamus Bahasa Bugis-Indonesia (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1977), h.
148.

2 Christian Pelras, The Bugis, diterjemahkan dengan judul Manusia Bugis oleh Abdul Rahman Abu, Hasriadi dan Nurhady Sirimorok (Jakarta: Nalar dan Forum Jakarta Paris, EFEO, 2006), h. 259.

3 Ibid., h. 255. Dalam sebuah artikel di koran lokal (yang belakangan menjadi bagian dari sebuah buku), saya pernah
menulis bahwa keempat kualitas moral (sulapa eppa’) manusia Bugis tersebut sesungguhnya bisa dilihat

personifikasinya pada empat tokoh penting Sulsel yang berbeda di masa berbeda namun, secara kebetulan, semuanya
memiliki nama Jusuf (atau Yusuf). Yaitu, sifat panrita terdapat pada diri Syekh Yusuf al-Makassari di abad
ke-17;
warani termanifestasi dalam diri Jenderal M. Jusuf; acca direpresentasikan dengan baik
oleh Prof. Dr. Ing. Baharuddin Jusuf Habibie; sementara sifat
sugi ditampilkan oleh M. Jusuf Kalla.

Yang disebut terakhir ini malah, dinilai Pelras (Manusia Bugis, h. 391), selain to-sugi juga pantas dipandang sebagai

to-acca dan to-panrita sekaligus. Untuk ulasan selengkapnya keempat Jusuf ini, lihat W. Halim “Yusuf and Empat Kualitas Utama Manusia Sulsel” dalam Abdillah Natsir, Andang B. Malla and M. Saleh Mude (eds.), Yusuf Kalla: Membangun Kesejahteraan Rakyat (Jakarta: Penerbit Blantika, 2004).

4 Mattulada, “Elite di Sulawesi Selatan” dalam Antropologi, no. 48 (1991), h. 92.
5 Ibid.

6 Andi Zainal Abidin, Persepsi Orang Bugis Makassar tentang Hukum, Negara dan Dunia Luar (Bandung: Alumni,
1983).

7 Ibid., h. 166-7.

8 A. Z. Abidin, Capita Selecta Sejarah Sulawesi Selatan (Makassar: Hasanuddin University Press, 1999), h. 105.

9 Abdurrazak Daeng Patunru, Sedjarah Wajo (Makassar: YKSST, 1965).

10 A. Z. Abidin, Wajo' pada Abad XV-XVI: Suatu Penggalian Sejarah Terpendam Sulawesi Selatan (Bandung: Alumni,
1985).

11 A. Z. Abidin, Capita Selecta Sejarah..

12 A.D. Patunru, Sedjarah Wajo., h. 21.
13
Ibid.

14 Lihat, A. Z. Abidin, Wajo Abad XV dan XVI.

15 J. Noorduyn, “The Wajorese merchants’ community in Makassar” dalam Roger Tol, Kees van Dijk dan Greg
Acciaioli (eds.),
Authority and Enterprise among the Peoples of South Sulawesi (Leiden: KITLV Press, 2000), h. 114.

16 Ulasan yang lebih dalam tentang Islamisasi Sulsel bisa diperoleh dalam artikel klasik J. Noorduyn (“De Islamizering van Makassar”) yang telah diterjemahkan menjadi Islamisasi Makassar (Jakarta: Bharata, 1972) dan, karya yang lebih belakangan, Christian Pelras, “Religion, Tradition, and the Dynamics of Islamization in South Sulawesi” dalam Archipel vol. 57 (1993).

17 Pelras, Manusia Bugis, h. 259.
18 Ibid., h. 260.

19 Kini terdapat banyak karya bemutu tentang Syekh Yusuf. Lihat antara lain: Tudjimah, Syekh Yusuf Makassar: Riwayat dan Ajarannya (Jakarta: UI-Press, 1997); juga Abu Hamid, Syekh Yusuf: Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang (Jakarta: YOI, 1994).

20 Untuk biografi singkat K.H. Muhammad As’ad, lihat K.H. Daud Ismail, Riwayat Hidup Almarhum K.H.M. As’ad Pendiri Utama As’adiyah Sengkang-Wajo (Ujung Pandang: Bintang Selatan, t.th.). Lihat juga karya rintisan Muhammad Hatta Walinga, “Kiyai Haji Muhammad As'ad: Hidup dan Perjuangannya” (Skripsi sarjana Fak. Adab IAIN Alauddin Makassar, 1980).

21 Untuk biografi K.H.Abdurrahman Ambo Dalle, lihat H. T. Syamsuddin, Biografi Ulama KH Abd. Rahman Ambo Dalle (Mangkoso: DDI, 1986); Juga Taufiq Adnan Amal, “Gurutta K. H. Abdul Rahman Ambo Dalle (1900-1996): Ulama Besar dari Tanah Bugis” dalam Jajat Burhanuddin dan Ahmad Baedowi (eds), Transformasi Otoritas Keagamaan: Pengalaman Islam Indonesia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003).

22 Pelras, Manusia Bugis, h. 260.

1.07.2008

Convert PDF to others format














Dulu,...
File PDF (adobe acrobat) adalah format file paling ampuh untuk memproteksi dokument kita. Kita pasti beranggapan bahwa dengan di PDF kan, maka file kita akan aman dari tangan-tangan jahil yang akan merubah isi content nya. Minimal, bila ada orang yang akan menyadur isi tulisan tersebut, mereka harus MENGETIK ULANG isinya.
Lama,.. dan butuh waktu. Itulah yang kita harapkan selaku penulis.
Sekarang ada software mengkonvert PDF
Software ini bernama ABLE2EXTRACT
Software ini bukan hanya mampu mengconvert PDF ke WORD,.. tapi juga bisa mengconvert ke bentuk lainnya.
1. PDF to WORD
2. PDF to EXCEL
3. PDF to POWERPOINT
4. PDF to TEXT
5. PDF to HTML
6. PDF to IMAGE
Anda tinggal pilih saja.
Benar benar lengkaapp!!.
Disamping cara pengoperasiannya yang mudah, tingkat keakurasian CONVERT nya juga bagus. Bahkan selama saya trial, masih akurat 100%. Saya belum pernah mendapatkan kesalahan (teks atau huruf) dalam pengconvertan.
Ini berbeda jika kita menggunakan fasilitas software OCR (mengconvert file image atau pdf ke text). Dengan software OCR, seringkali saya dapatkan salah EJA atau salah TULIS (huruf convertan tidak sesuai dengan aslinya).
Sekali lagi,.. MANTABB

Download link ada dibawah ini sesuai yang saya dapatkan di http://reviewsoftware.blogspot.com/
Sekalian, bagi teman2 yang sudah mencoba, sudi kiranya menuliskan sedikit komentar dibawah postingan (COMMENT) untuk sebagai referensi teman2 yang lain.

Klik Disini

Cara Menambahkan CLOCK cantik di Blog kita

Agar blog anda tampak cantik dan menarik untuk di lihat, maka anda bisa memasang beberapa aksesori blog, salah satunya adalah dengan cara memasang jam. Jam ini bisa anda dapatkan secara gratis pada situs http://www.clocklink.com.
Dan bagi anda yang ingin blognya di pasang jam blog juga, silahkan ikuti langkah-langkah berikut :

  1. Silahkan klik link berikut --> http://www.clocklink.com
  2. Jika sudah berada pada situs tersebut, silahkan klik tulisan Want a clock on your Website ?
  3. Silahkan anda melihat-lihat dulu model dari jam yang tersedia, yaitu mulai dari Analog, Animal, Animation, dll
  4. Jika di rasa sudah menemukan model jam yang anda sukai, klik tulisan View HTML tag yang berada di bawah jam yang anda sukai tadi
  5. Klik tombol yang bertuliskan Accept
  6. Pilih waktu yang sesuai dengan tempat anda di samping tulisan TimeZone. Contoh : untuk indonesia bagian barat pilih GMT +7:00
  7. Set ukuran jam yang anda sukai di samping tulisan size
  8. Copy kode HTML yang di berikan pada notepad
  9. Paste kode HTML yang di copy tadi pada tempat yang anda inginkan
  10. Selesai

Cara menambahkan SEARCH engine dalam BLOG kita

Posting blog memang membuat kita merasa bebas mengapresiasikan pendapat.
Apalagi kalau blog kita tersebut banyak yang mengunjungi, pasti akan ada rasa puas, bangga, dan bahagia.
Tapi, ada satu masalah yang suatu saat akan muncul. Ketika postingan kita semakin banyak (ratusan post), maka akan sangat membingungkan bagi para PENGUNJUNG kita untuk bisa mencari artikel yang mereka inginkan. Sehingga, visitor tersebut "malas" untuk mencari hal tersebut dan memilih "lari" dari blog kita.
Hasilnya?
1. Pengunjung "sedikit" kecewa
2. Pengunjung tidak betah di tempat kita
3. Kita "sedikit" rugi dengan cepat perginya Pengunjung
Truzz, gimana supaya Pengunjung betah di blog kita?. Bagai mana supaya Pengunjung bisa mencari artikel yang mereka inginkan dengan mudah?
Jawabannya adalah : PASANG FASILITAS SEARCH di blog kita.
Saya cuman tahu, ada 2 cara.
1. Gunakan search engine dari google
2. Gunakan script sendiri tuk bikin search engine
Saya pribadi kecewa dengan hasil Script Search dari GOOGLE. Karena ketika saya pasang di blog saya, kemudian saya coba, hasilnya kurang bagus. Cara pemasangan pun rumit, karena harus modifikasi script html BODY BLOG segala. Dan yang jelas, hasilnya tidak sebanding dengan usaha yang saya lakukan. Apa anda juga merasa demikian?
Setelah "telusar-telusur" di dunia maya, kumpulin informasi tentang bagaimana memasang SEARCH ENGINE di blog, akhirnya saya sudah menemukan. Dan telah dipasang di blog ini. Anda bisa coba gunakan fasilitas tersebut. Bila hasilnya anda suka, anda sebaiknya pasang juga fasilitas itu di BLOG anda.
Untuk saat ini, saya hanya tahu bahwa SCRIPT ini bisa digunakan di BLOGGER. Untuk blog lain (wordpress, typad, dll) saya belum bisa memastikan apakah script ini bisa bekerja atau tidak.
Mungkin ada teman2 yang mau dan sudah melakukannya? Mohon saya di beri informasi.
Adapun Script untuk menambahkan Search engine di BLOGGER adalah sebagai berikut.

{p align="left"}
{form id="searchthis" action="http://uyhasoft.blogspot.com/search" style="display:inline;"
method="get"}
{strong}Cari Disini{br/}{/strong}
{input id="b-query" maxlength="255" name="q" size="20" type="text"/}
{input id="b-searchbtn" value="CARI !" type="submit"/}
{/form}{/p}

Yang perlu anda perhatikan adalah :

  1. GANTI setiap tanda "{" dengan "<" , dan tanda "}" dengan ">". Mohon maaf, karena saya tidak bisa langsung memasang tanda "<" dan ">" dalam postingan ini, karena kalau langsung saya PASANG, pasti hasilnya akan kacau ketika saya posting.
  2. Pada script diatas, ada alamat blog saya (berwarna merah), ganti itu dengan alamat blog anda. Harus di ingat, bahwa akhiri alamat blog itu dengan "/search". Jangan sampai hal itu kelupaan, harena nanti hasil yang didapat tidak bagus.
  3. Anda bisa ganti tulisan "Cari Disini" (saya beri warna orange), dengan kata-kata yang anda suka, bisa "cari disini", atau apapun sesuai selera anda.
  4. Anda bisa ganti tulisan "Cari !" (berwarna Biru), dengan tulisan lain. Misal "klik" atau apapun.
  5. Yang perlu anda lakukan adalah masuk ke BLOGGER, kemudian pada window Add Page Element, anda tambahkan Add HTML code. Kemudian anda copy/paste script tersebut, dan anda ganti tanda yang saya maksud diatas. Kemudian anda save.

Gambar dibawah menjelaskan posisi dari "CARI DISINI" pada poin 2, dan "CARI !" pada poin 3.






Untuk Semua Pengunjung!.
Itu saja tips dari saya hari ini. Perlu di ingat bahwa SAYA bukanlah orang yang membuat Script ini, saya hanya searching di internet, dan berbagi info dengan anda2 sekalian.

Kalau ada masalah dengan script ini, anda bisa tinggalkan "comment" di postingan ini, "mungkin" saja, saya bisa bantu.

Uyha,


==================================